Senin, 20 Desember 2010

RAMBUTKU PENUH KUTU

Rambut hitam lurus berkilau adalah impian semua orang. Apalagi seorang wanita, rambut bagaikan mahkota penghias diri. Makin indah rambut kita makin cantik juga kita dipandang orang. Namun jika rambut itu lepek, acak-acakan gak pernah disisir apalagi gak pernah shampoan uh gak terbayang jadinya kaya apa.
Saat ini aku berumur 18 tahun, orang tua ku memberi nama Ana, aku lahir pada tanggal 11 Maret 1991. Sejak kecil aku selalu memimpikan mempunyai rambut yang indah bak gadis shampo di televisi. Tapi seakan harapan itu tak mungkin karena rambutku tak pernah sekali pun panjang, selalu dan selalu dipotong.
Alasan utama kenapa aku sering potong rambut tak lain karena aku selalu merasa rambut ku itu gatal. Rambut ku susah diatur.
“Gatal”, kalimat itu selalu keluar dari mulutku sembari tanganku garuk-garuk kepala.
“Ada apa Ana? Makanya shampoan”, Ibu mencoba ikut menggaruk kepalaku.
“Udah Bu, tapi tetep gatal”, rasanya pingin dibotakin saja kepala ini.
“Coba Ibu lihat siapa tahu ada kutunya”, Ibu mencoba memilah-milah rambutku.
“Apa Bu? Gak mau, kutu bikin rambut Ana kotor jelek. Ana gak mau kutuan”, aku merengek-rengek sembari menggaruk kepalaku.
Saat itu rambutku panjang sepundak tapi entah mengapa belakangan terasa gatal. Ketombe tak ada tapi gatalnya membuatku tak konsen ngapa-ngapain. Tangan maunya hanya garuk-garuk kepala saja.
Mendengar kata kutu, aku paling benci dengan hewan satu ini. Hewan yang selalu hinggap di rambut-rambut juga suka ngisep darah inangnya. Kutu memang benar-benar parasit. Aku benci banget pada kutu. Maka siang itu juga Ibu periksa rambutku. Aku takut kalau ada sarang kutu di rambut ku. Sejak Ibu bilang kutu aku takut banget.
“Bu, ada gak kutunya? Gatal banget Bu”, rengekku sambil terus tetap garuk-garuk kepala.
Ibu masih diam saja sembari mencari kutu kalau-kalau kutu itu bersarang di kepalaku.
Ku berharap semoga ketakutanku tak akan menjadi kenyataan. Namun bayangan rambut dipenuhi kutu-kutu membuat diriku merinding.
“Ana, jangan gerak-gerak”, Ibu protes karena aku bergidik-gidik membayangkan rambutku jadi sarang kutu.
“Abis ngeri Bu kalau ada kutu berkeliaran di kepala”, jawabku.
Hampir setengah jaman Ibu mengobrak-abrik rambut yang baru saja aku shampoin. Ternyata perburuan siang itu tak menemukan tanda-tanda adanya kutu. Hari itu sedikit lega. Jangan sampai mahkota indah ku dipenuhi makhluk-mahkluk menakutkan penghisap darah. Melihat makhluk yang namanya kutu menakutkan.
Ku rasakan hari berikutnya kepalaku makin gatal dan aku merasa ada sesosok yang berjalan di kepalaku.
“Haduh apa ini? Jangan kutu jangan”, ku garuk-garuk lagi kepalaku dan ku coba cari dimana rasa gatal itu berasal.
10 menitan ku coba mencari sendiri tapi tak ada tanda-tanda keberadaan makhluk hitam kecil itu. Namun rasa gatal terus saja menyerang ku.
“Ibu”, jurus handal yaitu mengandalkan Ibu ku.
“Ana ada apa teriak-teriak?” Ibu menuju teras menemuiku.
“Bu..tolong kepala Ana kok kaya ada yang gerak-gerak menjelajah”, masih tetap tanganku garuk-garuk.
“Ya sini Ibu liat. Siapa tahu kutuan, teman-teman kamu kan pada kutuan”, kembali Ibu mengobrak-abrik mahkota ku yang lagi diserang makhluk apa aku sendiri tak tahu.
Memang beberapa teman ku mereka pada kutuan. Walau jaman sudah modern namun yang namanya kutu tetap exis jaya beredar. Hinggap dari kepala satu ke kepala yang lain. Pertumbuhannya juga terbilang sangat cepat.
“Ya ampun Ana”, ucap Ibu sembari menarik sesuatu dari rambutku.
“Apa Bu?” tanyaku kaget.
“Banyak banget telur kutu di rambut mu. Coba lihat”, Ibu mengarahkan cermin ke rambutku.
“Ya ampun itu telur kutu Bu”, teriakku kaget.
Ku lihat putih-putih bak ketombe melekat erat di rambut-rambutku. Baru ku ketahui kalau itu adalah telur kutu rambut yang membuatku gatal. Kalau telurnya ada berarti induknya alias si kutu juga ada. Apa aku kutuan?
“Ana, banyak banget telurnya”, Ibu mencoba menarik lepas telur-telur itu dari rambutku.
“Aduh sakit Bu”, protesku karena memang tarikan dirambutku sakit banget.
“Diam dulu ini ada kutunya Ana”, Ibu menaruh hasil buruan dari rambutku ke telapak tanganku. Hitam kecil itulah kutu rambut yang menghinggapi kepalaku.
“Udah matiin, pencet aja nanti mati”, seru Ibu karena aku masih juga belum mematikan kutu di telapak tanganku.
“Ibu…terus Bu. Gatel banget”, aku semakin tidak tahan lagi ku garuk-garuk terus rambutku. Kini rambutku terlihat awut-awutan.
Hampir setiap hari sejak hari itu Ibu selalu berburu kalau-kalau kutu itu masih hinggap di kepalaku. Impian mempunyai rambut indah sudah tak mungkin lagi karena ulah kutu-kutu jahanam. Terpaksa rambutku dipotong pendek. Aku tak mau para kutu tumbuh makmur bila rambutku lebat. Terus terang memiliki ternak kutu dikepala membuatku malu bergaul dengan teman sebaya. Para teman pun akan takut bermain bersama takut ketularan makhluk menyebalkan itu.
“Diobatin saja pakai semprot obat kutu”, orang banyak menyarankan aku demikian.
Aku pun mencoba saran-saran meraka tapi ternyata sama sekali tak ada hasilnya. Sebentar kutu itu mampu ku brantas tapi sebentar kemudian kutu itu mulai bersarang lagi di kepalaku.
“Kutu kenapa kamu menggangguku”, teriakku berharap kutu-kutu yang bersarang di rambutku dapat mendengarnya.
Cukup lama kutu-kutu itu berternak di mahkotaku. Sekian lama itu juga aku harus berpenampilan potongan seorang laki-laki. Sungguh tersiksa rasanya.
Belakangan aku berfikir untuk kesalon mau mencoba rebonding rambut, siapa tahu telur juga kutu-kutu itu bisa mati karena obat juga catok rambut. Memang penghuni di kepalaku tak sebanyak dulu lagi tapi rasa was-was juga gatal masih selalu saja menghampiri. Mungkin keputusan untuk rebonding rambut itu yang terbaik.
Sore itu aku datangi salon Iies minta untuk dibonding.
“Ana mau potong rambut?” tanya si empunya salon Mbak Iies.
“Mau bonding saja Mbak, biar lebih rapi”, aku tak bilang tujuan utamaku ke salon sore itu. Rasa malu mendera jika Mbak Iies tau aku kutuan.
“Baiklah dimulai sekarang saja biar nanti tidak kemaleman”.
Aku pun mengangguk pertanda setuju. Langsung saja proses bonding berjalan. Sebelumnnya rambut ku dikasih obat-obatan katanya sih obat bonding, aku hanya nurut saja. Lalu dikramas dan saatnya dicatok. Aku pikir kutu dikepalaku yang dari tadi aku tahan gatalnya bakalan mati kena obat-obatn juga panasnya catok rambut.
“Ana, kamu punya kutu”, Mbak Iies kaget menemukan seekor kutu di kepalaku.
Aku hanya diam tak bersuara apa pun, aku malu banget saat itu karena di salon bukan hanya kami berdua saja melainkan para pelanggan yang lain. Kutu kenapa kamu permalukan aku seperti ini. Seekor kutu kecil mempermalukanku di depan umum seperti ini.
“Aku benci kamu kutu”, teriakku dalam hati.
Mbak Iies mencoba menarik paksa si kutu yang keliatan sekarat kena obat di rambutku.
Ku terima kutu itu dengan tangan terbuka juga sembari menahan malu.
Adegan memalukan ini harus cukup sampai disini. Aku tidak mau lama-lama terus hidup bareng kutu yang parasit di rambutku. Mulai detik ini kamu akan musnah kutu. Rebonding harus berjalan lancar. Aku tak peduli sedikit tabungan ku relakan untuk sekedar rebonding yang penting kutu ini musnah.
******
Kini usiaku sudah 19 tahun. Para kutu pun berhasil aku musnahkan. Selamat tinggal kutu-kutu jelek. Namun rasa was-was masih terus membayangi lantaran tetangga-tetangga ku masih ada saja yang memelihara kutu. Kutu rambut sampai kapan kau akan senantiasa abadi? 
( Ana teman FB dan Kutu kali ini kamu tokoh utama dalam cerita Rendy )
Ana jangan marah ya wkwkwkwkkkkkkkk…..



Yogyakarta 20 Desember 2010/ 20.52
Rendy Andromeda

4 komentar:

  1. botakin licin aja dijamin hilang tuh kutu

    BalasHapus
  2. Menghilang kan seekor kutu susah banget dri pada menhilangkan pacar bukan...

    BalasHapus
  3. Berarti berkat rebonding kutunya benar2 hilang dong?

    BalasHapus
  4. Saya menghilangkan kutu anak saya dgn catok, lbh mudah dan membuat cantik. Daripada pakai obat kutu bikin kepala basah, atau sisir kutu bikin capek.

    BalasHapus