Sabtu, 25 Desember 2010

PENYESALANKU

Tenda biru dihiasi janur kuning, jelas itu menandakan adanya hari yang bahagia. Di kanan kiri berhamburan tamu, ini adalah hari yang membahagiakan bagi kedua insan yang ada di pelaminan itu.
            Tawa bahagia memenuhi halaman pengantin baru itu. Diantara puluhan mungkin ratusan tamu yang hadir, aku berada diantara mereka, dengan perasaan yang entah, apa yang ku rasa. Ingin rasanya sejenak berhenti bernafas.
            Tak pernah ku bayangkan sebelumnya akan ada pernikahan ini. Peristiwa yang begitu mengagetkanku. Bagai kilat diterang benderang. Peristiwa yang membuatku bahagia juga sekaligus membuatku sedih.
            Hingga akhirnya ku sadari semua ini adalah nyata. Bukan hanya ketakutan ku semata. Sebulan sebelum hari ini datanglah seseorang ke rumahku untuk meminta restu dari ku.
            Orang itu tak lain adalah wanita yang ada di pelaminan itu. Dia adalah Dek Rani.
            Tanpa perlu ku bertanya dan juga tanpa perlu Dek Rani bercerita, aku tahu maksud kedatangannya, lewat selembar undangan yang dibawanya. Undangan itu bertuliskan Angga dan Rani.
            Ku coba untuk bersikap sebiasa mungkin, guna menyembunyikan perasaan ku yang sesungguhnya. Setelah ku persilahkan masuk dan duduk Dek Rani langsung mengatakan maksud kedatangannya.
            “ Kak, maksud Adek kesini adalah Adek ingin menyampaikan ini. Dan juga Adek ingin meminta izin dan juga restu Kakak untuk ini semua.”
            Dek Rani lebih suka memanggilku dengan sebutan Kakak dari pada memanggil nama ku, Rendy. Dan aku pun lebih biasa memanggilnya Dek Rani.
            “ Kenapa harus meminta izin Kakak?” sedikit aku bingung.                       
            “ Ma’af Kak, kalau kedatangan Adek membuat Kakak kecewa. Tapi Adek akan melaksanakan pernikahan ini, jika dan hanya kalau Kakak mengizinkannya. Mengizinkan Adek melaksanakannya. Tanpa restu dari Kak Rendy, maka pernikahan ini takkan pernah terjadi. Karena jujur hati Adek saat ini masih menyisakan celah, walau celah itu kecil namun disana terukir nama mu, Rendy Andromeda”
            Aku merinding mendengar kata-kata Dek Rani waktu itu. Waktu itu aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa selain meneteskan air mata. Dan mau tidak mau ku pun harus memberikan jawaban.
            “ Ku ikhlaskan Dek Rani untuk orang lain. Untuk orang yang mampu memenangkan hati Adek. Asalkan orang itu benar-benar sayang dan bisa menjaga adek.”
            Ku hirup nafas dalam-dalam sebelum ku melanjutkan ucapanku, “ Kakak akan ikhlas jika pria yang Dek Rani pilih adalah pria sholeh, pria yang bisa meyayangi Dek Rani melebihi pria mana pun termasuk Rendy. Kakak ikhlaskan Adek, semoga Dek Rani bahagia dengan pasangan Adek. Amiin. “
            Dengan senyum yang teramat sulit ku restui pernikahan itu.
            Dan akhirnya kini, sebulan telah berlalu datanglah hari ini. Tibalah saat ini. Aku harus sekuat dan setegar mungkin. Ini demi kebahagiaan banyak orang. Dan juga demi janjiku pada sang mempelai wanita, bahwa apa pun yang terjadi aku harus tetap sabar dan senantiasa senyum.
            Kini baru aku sadari berat merelakan yang kita ingin, tapi semua harus terjadi tak mungkin untuk disesali.
            Di tempat ini, kini ku berdiri memandang mempelai yang selalu senyum pada semua tamu yang hadir menyalaminya. Janur kuning itu indah membuat mataku tak henti untuk menatapnya.
            “Rendy, … kapan datang“, aku sedikit kaget tiba-tiba Rafel datang membuyarkan lamunanku memandang mempelai.
            “Em…iya….dah dari tadi“, masih tetap kedua bola mataku ku arahkan pada kedua mempelai di pelaminan itu.
            “Ooo…aku tahu“, sekali lagi Rafel mengagetkanku, kali ini sembari matanya mengekor mengikuti pandangan bola mataku.
            “Ah…apa sih, udahlah. Ayuk kita duduk disana aja“, ajakku guna mengalihkan kecurigaan Rafel.
            Lama aku terdiam dalam keramaian orang di sekitarku. Tak henti bola mataku selalu menatap arah pelaminan, puluhan orang datang dan pergi memberi selamat dan mendoakan sang mempelai. Sempat ku berfikir seandainya sang mempelai pria adalah aku…..
            “Ya ampun, mikir apa aku ini“, gumanku dalam hati.
            “Rendy, apa kamu masih menyimpan perasaan pada Rani?” Rafel lagi-lagi memulai membahas hal ini, yang membuatku merinding.
            “Rani…..” agak sedikit kaget ku berusaha menenangkan diri.
            “Apa sih Fel, kamu tuh ngaco. Masak aku sayang ma istri orang, sahabat sendiri lagi“, aku sudah mulai menguasai keadaan.
            Dek Rani kini menjadi mempelai wanita disana. Dek rani adalah wanita yang dulu bahkan mungkin sampai saat ini masih aku inginkan. Tapi semua itu tak akan mungkin lagi. Aku sadar akan semua ini. Keadaan sudah tak mungkin berubah lagi.
            “Heh….ngapain malah bengong?” sekarang aku yang mengagetkan Rafel.
            “Enggak. Cuma aku heran ajah ma apa yang barusan kamu omongin“, Rafel menatap ku. Aku pun penuh tanya sambil mengerutkan kening.
            “Iya….heran ajah. Gak usah ngerutin kening gitu. Ya Cuma heran ajah ama kata-kata terakhir mu tadi. Aku juga heran kok kamu nggak nangisi cewk yang kamu idam-idamkan bersanding dengan cowok lain?”
            “Habis mau…gi…”
            “Et….tar dulu, aku belum selesai omong Rendy“, belum sampai aku menjawab Rafel sudah potong pembicaraan ku.
            “Dengerin dulu aku. Mana tadi bilangnya pakai sahabat lagi. Sejak kapan Rendy sahabat, Rend kan sahabatan ma  Angga. Sejak kapan? Kenal aja kagak”.
            “Rafel….” Suaraku sedikit agak keras sambil memperhatikan kanan kiri takut ada yang terganggu.
            Aku membenahi duduk mendekati Rafel.
            “Fel, kamu gak boleh bilang kayak gitu sama mereka. Walau bagaimana pun mereka saudara kita sendiri. Selama ini aku dah menganggap Dek Rani itu seperti adek ku sendiri. Bukannya kamu juga begitu, dah anggap Dek Rani adek Mu. Begitu juga otomatis, suami Dek  Rani sekarang ini juga saudara kita Fel. Kamu pahamkan? Sesama saudara tidak boleh syirik, sombong, atau pun cemburu”.
            “Apaan sih kamu Rend, malah ceramah disini. Aku tau kalau Rani sih emang saudara kita. Tapi kalau Angga, ogah ah”.
            Rafel menjawab dengan ketus.
            “Ya ampun Fel, kamu gak baik bicara kayak gitu. Sesama muslim tidak boleh membenci. Apa lagi ini adalah hari bahagia. Aku berusaha memberi penjelasan pada Rafel yang terlihat sudah makin gak karuan jalan pikirannya.
            “Rendy, kamu tuh gimana sih? Harusnya kamu tuh dukung aku. Seneng ma jalan pikiran ku, aku kan dukung kamu. Bukannya selama ini kamu mengharapkan Rani. Tapi tiba-tiba datanglah tuh Angga, kalah saing deh kamu, direbut tuh cewek impian mu”.
            “Ah nyesel deh dukung kamu”, Rafel terus saja ngomel-ngomel.
            Aku akui memang dulu aku kagum pada Dek Rani, dia yang banyak mengajari aku tentang hidup. Banyak mengajari aku tentang agama. Dia perempuan baik, taat, sopan juga bermuka cantik. Sangat menggoda. Banyak lelaki yang jatuh hati padanya. Tak terkecuali aku, walau ada wanita lain mencoba mendekatiku, aku tetap menanti Dek Rani.
            Orang baik selalu disayang oleh siapa saja, itulah gambaran yang tepat untuk Dek Rani.
            “Rafel, oke mungkin dulu aku berharap dan berdoa pada Allah agar suatu hari nanti aku dapatkan wanita yang bisa benar-benar menerima aku apa adanya. Wanita yang bisa menjadi ibu bagi anak-anak ku, membahagiakan di dunia dan mengajak ke surga. Tapi mungkin Wanita yang dipilihkan bukanlah Dek Rani. Kalau jodoh tak kan lari kemana Fel. Dan aku yakin,  Allah selalu mengabulkan doa hamba-Nya, mungkin sekarang atau nanti. Baik dalam cobaan atau pun kebahagiaan”, kali ini mataku ku alihkan lagi pada kedua mempelai di bawah janur kuning itu. Sungguh pemandangan yang indah, janur kuning melambai-lambai tertiup angin.
            “Aku gak tau yang kamu maksud Rend. Aku bingung, kamu juga gak sedih liat cewek mu di ujung sana duduk bersanding dengan cowok lain?“
            “Rafel, Dek Rani bukanlah punyaku. Semua ini adalah milik Allah. Kenapa juga aku harus sakit hati? Sedih? Atau menangis? Toh orang yang aku sayang sekarang bahagia”.
            Aku berusaha setegar mungkin dan berusaha membendung air mata agar tak jatuh, tapi tetap tak kuasa ku menahannya.
            Demi melihat air mataku, berucaplah Rafel dengan lirih, “Rend, kamu nangis? Kenapa Rend? Apa ini semua terlalu menyakitkan? Jujur Rend? Aku ini sahabat mu”.
            Ku seka air mataku dan ku beri senyum ikhlas dari hati, “Fel, aku menangis karena aku bahagia”.
            “Kamu tahu kenapa aku bahagia“, Rafel menggeleng sambil terus tangannya menepuk-nepuk bahu ku.
            “Lihatlah sekeliling kita. Semua bahagia Fel, orang tua mempelai dan tentunya mempelai, semua bahagia. Dan tentunya juga Dek Rani disana juga bahagia“, ku hirup nafas dalam-dalam dan ku hempaskan perlahan.
            “Jadi sudah sewajarnya aku juga ikut bahagia. Kita memang diajarkan untuk saling menyayangi, tapi tak selamanya orang yang saling menyayangi itu harus bersama. Mungkin memang Dek Rani bukanlah jodohku. Aku harus ikhlas dan yang patut aku syukuri Dek Rani mendapatkan pria yang sholeh. Kamu tau siapa suami Dek Rani, Angga itu?”
            “Tidak. Aku tak pernah mengenalnya“, Rafel kini sudah mulai mencerna maksud ku terlihat dari caranya bicara.
            “Iya, kamu harus tau. Saudara kita itu adalah Angga. Dia adalah pria dari kota sebelah. Angga itu pria yang sholeh, baik budinya dan terkenal dikalangan anak muda di daerahnya karena ketampanan dan kebaikan hatinya. Jadi beruntunglah Dek Rani mendapatkannya”.
            Aku tau itu semua dari cerita Dek Rani sebulan yang lalu.
            “Rend, tapi bagaimana dengan hatimu?“
            “Rafel, Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Aku yakin suatu saat nanti akan ada jodohku sendiri. Insyaallah yang sesuai dengan doa dan harapan ku”.
            “Lalu kenapa selama ini kamu berharap Dek Rani yang akan mendampingimu?”
            “Aku juga tidak tau? Mungkin karena imannya dan kegigihannya, aku jadi kagum padanya. Cuma kamu saja yang salah mengartikannya”.
            Sebenarnya aku memang menunggu Dek Rani. Tapi tak layak jika ku ungkapkan semua. Sebenarnya aku tau dulu Dek Rani juga sempat suka dan sayang pada ku, tapi karena waktu itu dia masih sekolah, aku tak sempat memikirkan untuk segera menyempurnakan ibadah dengan menikah. Dek Rani pun mengetahui hal itu. Perbedaan umur kami 5 tahun.
            Dan sampai pada akhirnya, hadirlah Angga yang lebih siap membina bahtera rumah tangga. Walau awalnya aku sedih karena kecewa, tapi kini aku sadar Allah itu Maha Penyayang pada setiap umatnya. Dan aku yakin dan terus berdoa suatu saat nanti kan datang Dek Rani yang lain, di hari dimana aku sudah siap lahir batin menerima dan menyempurnakan separuh ibadah.
            Sejenak aku masih terus membayangkan masa depan. Dan kelak aku juga akan duduk di bawah tenda biru dihiasi janur kuning. Persis Dek Rani saat ini. Janur kuning melengkung bergoyang terhembuskan angin.
            Amien..amien…dalam hati ku mengamini semua.
            “Rendy, ya udah kalau gitu aku ngikut kamu aja. Aku tau yang kamu maksud. Aku juga yakin suatu saat kamu juga akan dapatkan wanita yang kamu impikan. Amien”.
            “Allahumma amin….semoga kau juga begitu Fel”.
            “Makasih. Amin”.
            Dek Rani terlihat  cantik dengan busana pengantin muslim. Angga terlihat sangat tampan dengan pakaian jas nya.
. Kebahagiaan mereka saat ini juga adalah kebahagiaanku. Ku berdoa dan terus berdoa untuk diriku dan juga saudara-saudara ku.
            “Ya Allah semoga pernikahan ini kan menjadi pernikahan yang langgeng. Semoga mempelai kan jadi keluarga sakinah mawadah, warohmah. Amin”.
            “Rendy, yakinlah orang baik akan mendapatkan orang baik pula. Amin”.
            “Amin”
Ku tersenyum melihat Rafel tak dendam atau benci lagi pada pengantin itu.
            “Rendy…yuk ngucapain selamat dan mendoakan saudara kita. Sekalian kenalan juga pingin foto-foto“, aku hanya mengangguk dan mengikuti Rafel.
            Entah kekuatan darimana, yang pasti dari Allah aku merasakan kaki ku terasa ringan berjalan. Seakan tak ada beban seperti sebelumnya, sebelum ku utarakan semua.
            Namun seketika ku rasakan tubuhku melemas aku jatuh tak sadarkan diri. Aku tak tahu apa yang terjadi.
            “Rend, Rendy”, ku dengar sayup-sayup suara Rafel tapi hanya sebentar setelah itu pandangan ku hitam.
*******
            “Dek Rani, Rendy sakit. Kata dokter Rendy mengalami depresi berat. Di kamarnya ditemukan selembar surat untuk Adek, ternyata selama sebulan ini Rendy sakit Dek, dia tak mau makan dan minum hanya sesekali saja bahkan dia berusaha bunuh diri namun untung keluarganya mampu mengatasi semua itu dengan selalu membimbing Rendy untuk tetap mengingat Allah”.
Rafel menyerahkan surat yang ditulis Rendy untuk orang yang pernah mengisi hidupnya.
Untuk mu Miis. Misterius
Semoga kau bahagia bersamanya, jangan pernah memikirkan aku lagi. Aku tetap akan sayang pada mu sampai kapan pun. Tak ada seorang yang dapat menggantikan mu walau sampai nyawa ini berpisah dari sang raga. Aku sadar aku yang bodoh tak melamarmu dahulu. Sekarang tak ada yang bisa ku perbuat lagi. Aku berharap semoga lekas aku musnah dari dunia yang menyedihkan ini.
Dari ku yang selalu mencintaimu.
“Rendy Andromeda”
            “Rendy…….kenapa kau siksa aku?” teriak Rani keras.




Yogyakarta 25 Desember 2010/ 19.19

Rendy Andromeda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar